MENDIDIK GENERASI MUDA MELALUI UPACARA TRADISIONAL SUSUK WANGAN

Print Friendly and PDF

MENDIDIK GENERASI MUDA MELALUI UPACARA TRADISIONAL SUSUK WANGAN


Oleh : Dwi Rahayu Retno Wulan, S.Pd.  

Guru Bahasa Jawa SMPN 3 Bulukerto Wonogiri, Jawa Tengah

Dwi Rahayu Retno Wulan, S.Pd. 


       Pendidikan merupakan usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Pendidikan pada umumnya merupakan usaha dan kekuatan untuk mengembangkan etika seperti ketuhanan, karakter, pikiran, dan keadaan fisik pembelajar (Saddhono, dkk., 2016: 308). Salah satu cara untuk mencapai adanya tujuan pendidikan adalah melalui proses pembelajaran yang dilaksanakan tanpa mengesampingkan nilai spiritual dan nilai sosial. Kunci tujuan pembelajaran adalah kebutuhan siswa, mata pelajaran, dan guru itu sendiri (Hamalik, 2008: 6). Berdasarkan kebutuhan siswa dapat ditetapkan apa yang hendak dicapai, dikembangkan, dan diapresiasi. Berdasarkan mata pelajaran yang ada dalam petunjuk kurikulum dapat ditentukan hasil-hasil pendidikan yang diinginkan. Guru sendiri adalah sumber utama tujuan bagi para siswa, dan dia harus mampu menulis dan memilih tujuan bagi para siswa, dan dia harus mampu menulis dan memilih tujuan-tujuan pendidikan yang bermakna, dan dapat terukur. Guru memiliki otoritas penuh di kelas untuk mengajar (Suharno & Saddhono, 2013: 164).

       Dipilihnya upacara tradisional Susuk Wangan karena dalam upacara tersebut mengandung pesan-pesan yang dapat ditiru oleh masyarakat khususnya para generasi muda. Upacara tradisional Susuk Wangan adalah upacara tradisional yang terdapat di Kabupaten Wonogiri, tepatnya di Desa Setren Kecamatan Slogohimo. Upacara tradisional Susuk Wangan mempunyai makna perwujudan syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, adanya perwujudan nilai sosial dalam pelaksanaan upacara tersebut juga dapat dipelajari guna membentuk generasi Jawa yang berbudi pekerti luhur. Karena generasi muda saat ini memang tengah terlena dengan pesatnya teknologi, sehingga dengan mempelajari upacara tradisional Susuk Wangan diharapkan generasi muda mampu memiliki rasa syukur, rasa sosial, dan sikap empati terhadap sesamanya. Oleh karena itu, upacara tradisional khususnya Susuk Wangan perlu diteliti dan digali nilai-nilai yang tersirat di setiap prosesinya sehingga dapat digunakan untuk mendidik generasi muda yang sedang terkontaminasi oleh pesatnya teknologi modern.

       Latar belakang adanya upacara tradisional Susuk Wangan berawal dari mimpi atau wangsit yang diperoleh seorang tokoh masyarakat desa Setren. Dalam mimpi tersebut, ia ditemui oleh seorang pria berbaju putih yang konon sampai saat ini diyakini sebagai KGPAA Mangkunegara I atau Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas Said. Raden Mas Said memberitahukan bahwa di dalam hutan Girimanik terdapat sumber mata air. Selain itu, Raden Mas Said juga berpesan agar sumber mata air tersebut dijaga kelestariannya dan jangan sampai rusak. Dari mimpi yang diperoleh itu, tokoh masyarakat yang sering disapa dengan sebutan Mbah Pono mencari kebenaran mimpinya. Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, Mbah Pono akhirnya menemukan umbul atau sumber mata air di hutan Girimanik. Umbul atau sumber mata air itu terletak di kawasan Silamuk yang sekarang terkenal dengan nama Umbul Silamuk (wawancara dengan Pono Marto Wiyono tanggal 11/05/2017).

       Susuk Wangan berasal dari dua kata, yaitu susuk dan wangan. Susuk berarti membersihkan sedangkan wangan berarti aliran air. Secara keseluruhan, Susuk Wangan dapat diartikan dengan membersihkan saluran air. Masyarakat desa Setren mengadakan upacara Susuk Wangan setahun sekali, yaitu pada bulan Besar, tepatnya hari Sabtu Kliwon di kawasan air terjun Girimanik. Upacara ini merupakan wujud syukur pada Tuhan karena mendapatkan air yang melimpah yang dapat bermanfaat bagi kebutuhan sehari-hari dan pertanian. Selain sebagai upacara slametan, di dalam upacara tradisional tersebut juga terkandung adanya nilai religius yang dapat dipelajari dan dipahami masyarakat, khususnya siswa. Upacara tradisional Susuk Wangan dilaksanakan setiap hari Sabtu Kliwon pada bulan Besar. Adapun prosesi yang dilakukan dalam upacara tradisional Susuk Wangan dilakukan dalam dua tahap, yaitu pada Jumat sore dan Sabtu pagi.

       Upacara tradisional Susuk Wangan merupakan salah satu materi budaya yang dapat dipelajari dan diteladani para generasi muda. Materi budaya memuat adanya kompetensi dari dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik (Saddhono, 2015: 351). Guru dapat memasukkan materi upacara tradisional Susuk Wangan karena materi tersebut merupakan salah satu materi budaya. Pemahaman budaya lokal pada pengajaran bahasa melalui keterampilan menulis merupakan cara yang baik dalam mengambil respon positif (Saddhono, dkk., 2017: 70). Dengan demikian, guru dapat menyuruh siswa untuk mengamati upacara tradisional Susuk Wangan kemudian meminta siswa untuk menuliskan prosesinya bahkan nilai pendidikan yang terkandung di dalamnya. Selain itu, siswa sebagai generasi muda diharapkan nantinya dapat menumbuhkan pengetahuan dan keterampilannya dalam materi budaya, khususnya upacara tradisional Susuk Wangan serta memiliki sikap-sikap terpuji. Karena di era modernisasi ini, banyak generasi muda hanya mementingkan aspek kognitif dan psikomotorik saja. Mereka mengabaikan nilai-nilai afektif yang justru sangat berperan  penting bagi kehidupannya. Oleh karena itu di bawah ini akan diuraikan beberapa nilai yang terkandung dalam upacara tradisional Susuk Wangan agar para generasi muda dapat meniru dan menanamkan di dalam dirinya untuk memiliki sikap-sikap yang dimiliki warga masyarakat Desa Setren.

NILAI RELIGIUS

       Upacara tradisional Susuk Wangan merupakan tradisi yang erat hubungannya dengan kepercayaan atau agama. Oleh karena itu, tradisi tersebut memiliki nilai-nilai yang erat kaitannya dengan agama atau disebut dengan nilai religius. Religi merupakan kepercayaan atau keyakinan manusia tentang adanya hal gaib (supernatural) yang berada di luar kekuasaan manusia yang menguasai seluruh kehidupan manusia (Krisna dan Desti, 2015: 59). Namun selain kepercayaan manusia tentang adanya hal gaib yang menguasai kehidupan manusia, religi juga mengatur adanya hubungan antara manusia dengan sesama serta manusia dengan alam. Di bawah ini akan dijelaskan nilai religius yang terkandung dalam upacara tradisional Susuk Wangan.

       Nilai religius terlihat dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan dalam upacara tradisional Susuk Wangan. Sebab, latar belakang diadakannya upacara tradisional Susuk Wangan merupakan wujud ungkapan syukur pada Tuhan Yang Maha Esa. Dahulu di Desa Setren, Kecamatan Slogohimo, Kabupaten Wonogiri wilayahnya sangat tandus, kering kerontang. Namun, atas pertolongan dari Tuhan Yang Maha Esa melalui perantara wangsit yang diterima oleh sesepuh desa, maka sampai saat ini wilayah Desa Setren memiliki air yang melimpah dan dapat digunakan untuk keperluan sehari-hari. Bahkan, pertanian di Desa Setren sangat maju dan hasil pertaniannya melimpah. Oleh karena itu, ungkapan Jawa yang menyatakan aja lali karo mula bukane diterapkan dan dijalankan sampai saat ini oleh masyarakat Desa Setren. Untuk menunjukkan ungkapan syukur pada Tuhan Yang Maha Esa sampai saat ini setiap setahun sekali diadakan upacara tradisional Susuk Wangan. Dari uraian di atas, kita dapat meniru sifat-sifat religius yang dimiliki masyarakat Desa Setren. Kita wajib mensyukuri apapun nikmat dari Tuhan Yang Maha Esa. Bila generasi muda juga memiliki sifat demikian maka di dalam kehidupannya generasi muda tersebut akan selalu mengingat Tuhan Yang Maha Esa dan tidak berani untuk melakukan perbuatan-perbuatan tercela.

NILAI SOSIAL

       Selain adanya nilai religius, generasi muda juga patut meniru nilai sosial yang dimiliki masyarakat Desa Setren ketika melaksanakan upacara tradisional Susuk Wangan. Contoh dari adanya nilai sosial tersebut adalah ketika masyarakat membersihkan saluran air (wangan) yang mengaliri Desa Setren, membersihkan jalan, membersihkan gerbang hutan. Masyarakat Desa Setren merasa terikat dalam satu kelompok atau komunitas yang memiliki tujuan yang sama sehingga masyarakat Desa Setren dengan sendirinya tergerak untuk ikut serta dalam pelaksanaan upacara tradisional Susuk Wangan. Namun nyatanya, saat ini para generasi muda kurang memiliki nilai sosial terhadap sesamanya. Mereka terkesan acuh tak acuh terhadap lingkungan di sekitarnya. Bahkan kerap kali kita melihat bahwa generasi muda tidak mengenal tetangganya. Hal itu merupakan suatu hal yang sangat disayangkan. Maka dari itu, dengan mempelajari upacara tradisional Susuk Wangan diharapkan dapat merubah sifat generasi muda untuk memiliki nilai sosial terhadap sesamanya.

       Sehubungan dengan upacara tradisional Susuk Wangan yang dikerjakan oleh masyarakat Desa Setren sebelum puncak acara upacara tradisional Susuk Wangan yang diselenggarakan pada hari Jumat pagi, masyarakat secara bersama-sama membersihkan saluran air yang mengalir ke Desa Setren (kerja bakti) kemudian membersihkan tanah lapang yang terletak di Pos 2 Obyek Wisata Air Terjun Girimanik Setren, tanah yang cukup luas tersebut dipasang tarub diberi hiasan dekorasi dengan kain, di bawah tarub diberi alas dan panggung untuk pementasan seni di setiap jalan menuju Obyek Wisata Air Terjun Setren Girimanik dari mulai Pos 1 sampai Pos 2 di pasang umbul-umbul, memsang janur di tempat diselenggarakannya upacara. Maka dari itu, dengan adanya contoh tersebut, generasi muda dapat meniru perbuatan yang dilakukan warga desa, yaitu melakukan kerja bakti maupun gotong royong. Saat ini kita mengetahui sifat individualistik yang dimiliki generasi muda. Lagi-lagi dikarenakan oleh pesatnya teknologi, generasi muda lebih mementingkan diri untuk bermain dengan perangkat genggamnya. Untuk membantu orang lain, misalnya orang tua saja mereka sering memberikan alasan bahkan langsung menolaknya. Oleh karena itu bila generasi muda mempelajari prosesi upacara tradisional tersebut maka dapat menanamkan rasa sosial yang berguna bagi kehidupannya. 

       Pada malam harinya, masyarakat mengadakan lek-lekan di tempat Upacara Tradisional Susuk Wangan diselenggarakan dengan mengadakan acara tahlilan sementara pada hari itu ibu-ibu mempersiapkan segala ubarampe yang diperlukan dalam upacara tersebut. Berbagai kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Setren dalam mempersiapkan penyelenggaraan upacara tradisional Susuk Wangan sangat nampak sekali bahwa nilai sosial masyarakat Desa Setren terjalin cukup baik, mereka memiliki tujuan dan kepentingan bersama untuk menyelenggarakan upacara tersebut. Selain dari kegiatan di atas, ubarampe atau perlengkapan upacara yang digunakan secara tidak langsung menunjukkan adanya solidaritas nilai sosial yang terjalin di dalam masyarakat Desa Setren. Sebagian masyarakat yang bertugas membuat jodhang dan gunungan berkumpul di rumah sesepuh Desa Setren, kemudian jodhang dibersihkan dan dihias dengan janur sebelum diisi dengan sesaji. Gunungan juga dihias dengan hasil bumi masyarakat Desa Setren berupa buah-buahan dan sayur mayur. Saat pelaksanaan upacara tradisional Susuk Wangan, jodhang dan gunungan tidak bisa dibawa sendirian namun keduanya harus dipikul bersama-sama. Hal tersebut menunjukkan bahwa jodhang dan gunungan menjadi tanggung jawab bersama masyarakat Desa Setren, manusia hidup di dunia ini saling membutuhkan satu sama lain (wawancara dengan Sri Purwanti 2/10/2017). Dari sini terlihat sekali bahwa jodhang dan gunungan juga menjadi simbol adanya rasa sosial dan kebersamaan masyarakat Desa Setren. 

       Berbagai contoh di atas, merupakan beberapa contoh nilai religius dan nilai sosial yang terdapat dalam upacara tradisional Susuk Wangan. Adanya nilai-nilai tersebut dalam upacara tradisional Susuk Wangan adalah sebagai salah satu nilai kearifan lokal. Nilai kearifan lokal dimulai dengan nilai yang dianggap baik oleh sekelompok masyarakat di suatu wilayah (Saddhono, dkk., 2017: 187). Jika para generasi muda dapat tergugah hatinya untuk meniru nilai-nilai yang telah diutarakan di atas, maka akan terbentuk pribadi yang memiliki sifat terpuji. Jangan hanya karena kemajuan teknologi kita terlena dengan keagungan Tuhan Yang Maha Esa dan bersikap acuh tak acuh untuk tolong menolong sesama. Apabila dua hal tersebut saat ini sudah tidak dimiliki para generasi muda, maka akan terbentuk sifat-sifat yang tercela, perpecahan di mana-mana, bahkan menganggap Tuhan Yang Maha Esa itu tidak ada. Sungguh hal yang sangat disayangkan.



Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top