Propaganda Visual: Mengkritisi Bagaimana Desain Grafis Membentuk Ikon Kapitalisme

Print Friendly and PDF

Propaganda Visual: Mengkritisi Bagaimana Desain Grafis Membentuk Ikon Kapitalisme

Oleh : Noval Dhana Ardhani Piliang (Mahasiswa Prodi DKV FSRD ISI Surakarta)


Noval Dhana Ardhani Piliang


       Desain grafis bukan sekadar alat komunikasi visual; ia adalah senjata yang mampu membentuk persepsi, menciptakan ikon, dan memengaruhi pola pikir. Dalam konteks kapitalisme, desain grafis telah menjadi salah satu mesin utama yang menggerakkan roda ekonomi dan membangun ikon-ikon budaya yang begitu dominan. Di balik visual yang tampak indah dan menarik, terdapat narasi yang mengakar kuat dalam ideologi kapitalisme, yang pada akhirnya membentuk pandangan masyarakat tentang konsumsi, status sosial, kesuksesan, dan kekuasaan. Di Indonesia, kita bisa melihat bagaimana visual telah mengukuhkan berbagai merek global sebagai simbol kesuksesan dan gaya hidup modern. Contoh yang paling jelas adalah kehadiran iklan-iklan di ruang publik pada kota-kota besar seperti Jakarta. Sebuah penelitian oleh Nielsen Ad Intel pada tahun 2022 menunjukkan bahwa belanja iklan di Indonesia menghabiskan biaya sebesar 19,2 miliar dolar AS, jika dirupiahkan mencapai 288 triliun naik +5,02% dari tahun 2021, yang sebagian besar diimplementasikan pada media digital dan diarahkan untuk produk-produk konsumsi serta gaya hidup. 

       Brand seperti Unilever, Coca-Cola, McDonald's, hingga Nike, dan lainnya dengan desain branding ikonik yang kuat dan familiar di benak masyarakat tidak hanya menjual produk, tetapi juga gaya hidup dan nilai-nilai yang mereka angkat. Namun, di balik visual yang memikat tersebut, tersembunyi realitas yang suram, realitas yang dialami oleh jutaan pekerja di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Salah satunya industri fashion global, yang dikenal dengan kampanye-kampanye visual yang mewah dan glamor, seringkali mengandalkan tenaga kerja murah di negara-negara ini, untuk memaksimalkan keuntungan mereka. Buruh-buruh di pabrik tekstil dan garmen sering kali bekerja dalam kondisi yang keras dengan upah yang jauh di bawah standar hidup layak. Menurut laporan dari Clean Clothes Campaign, banyak pekerja di pabrik-pabrik garmen di Asia hanya mendapatkan upah sekitar 2-5 dolar AS per hari, hal ini tentunya sangat mendekatkan masyarakat kelas bawah atau buruh berada di garis kemiskinan.

       Ketika merek-merek fashion global seperti H&M, Zara, dan Uniqlo berbondong-bondong mengalihkan produksi mereka ke negara-negara berkembang, narasi visual mereka tetap bersinar dengan keunggulan. Namun, kenyataan di balik layar adalah eksploitasi pekerja yang tidak sebanding dengan kekayaan yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan besar dunia. Dalam hal ini, desain grafis berfungsi sebagai tirai yang mencoba menutupi ketidakadilan dan ketimpangan yang terjadi. Iklan-iklan yang mengesankan kemewahan dan prestise yang memanfaatkan tipografi, warna, dan elemen visual lainnya tidak hanya menjual produk, tetapi juga menormalisasi eksploitasi tenaga kerja sebagai bagian dari mesin kapitalisme.


       Lebih jauh lagi, dampak dari desain grafis yang dikendalikan oleh kepentingan kapitalis tidak berhenti pada masalah sosial. Ia juga berkontribusi pada krisis lingkungan global. Desain yang mempromosikan konsumsi berlebihan dan mode yang cepat, seperti yang sering ditemukan dalam industri fast fashion, berdampak besar pada lingkungan. Produksi massal yang didorong oleh kampanye visual yang memikat menyebabkan penebangan hutan, pencemaran air, dan peningkatan limbah tekstil. Di Indonesia, misalnya, industri tekstil adalah salah satu penyumbang terbesar polusi air, dengan limbah berbahaya yang seringkali dibuang sembarangan. Desain kemasan plastik yang diproduksi oleh brand-brand utama dunia yang dirancang begitu mencolok untuk mengemas berbagai macam produk sehari-hari juga sering kali menjadi bintang utama dalam isu lingkungan ini, memikat konsumen dengan estetika yang menggugah selera. Namun, kemasan yang berkilau ini sering kali menjadi barang sekali pakai, terbuang setelah produk habis, meninggalkan limbah yang menggunung di daratan maupun lautan.

       Dalam kapitalisme politik, desain grafis juga sering digunakan untuk mendukung agenda-agenda yang tidak selalu transparan. Visualisasi kampanye politik, poster, dan media sosial yang dirancang untuk memengaruhi opini publik sering kali mengaburkan fakta dan memanipulasi emosi untuk mencapai tujuan tertentu. Di Indonesia, berbagai kampanye politik menggunakan pola komunikasi desain yang menarik dengan propaganda visual untuk membentuk persepsi publik, sering kali mengabaikan isu-isu sosial demi keuntungan politik sesaat. Misalnya, beberapa branding kampanye politisi yang dikomersialkan menjadi sebuah entertain atau hiburan untuk menggugah perhatian generasi muda yang cenderung tidak memiliki pemikiran kritis karena SDM rendah yang umumnya didominasi di negara-negara berkembang. Strategi ini menciptakan citra yang lebih simpatik, menutupi isu-isu penting dan gelap dari politisi tersebut. Akibatnya, penguasa yang terpilih melalui demokrasi dapat mengontrol opini publik dan memperkaya diri mereka sendiri, sementara masyarakat sering kali tidak menyadari manipulasi yang terjadi di balik layar.

       Pada akhirnya, desain grafis memiliki peran penting dalam membentuk ikon-ikon kapitalisme yang mendominasi kehidupan kita. Di Indonesia, kekuatan visual ini semakin kuat dengan meningkatnya penetrasi media dan teknologi digital. Kita hidup di era di mana visual bukan hanya sekadar gambar, tetapi sebuah narasi yang terstruktur, memengaruhi cara kita berpikir, merasa, dan bertindak. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk kritis terhadap visual-visual yang di konsumsi setiap hari, dan memahami bahwa di balik keindahannya, terdapat ideologi yang tengah bekerja untuk membentuk dunia dalam genggaman hegemoni elit global. Sementara kita terbuai oleh keindahan visual, pekerja di balik layar, dengan upah rendah dan kondisi kerja yang tidak manusiawi, terus menjadi korban dari sistem perbudakan modern yang mementingkan keuntungan di atas kemanusiaan. Selain itu, dampak lingkungan dari produksi yang tidak berkelanjutan semakin memperburuk krisis ekologis yang kita hadapi.

       Desainer grafis berada di garis depan dalam membentuk dan menyampaikan pesan-pesan visual yang memengaruhi masyarakat. Namun, dengan kekuatan tersebut datang tanggung jawab yang besar. Apakah kita akan terus menjadi bagian dari mesin kapitalisme yang menutupi ketidakadilan dan kerusakan lingkungan dengan keindahan visual? Atau kita akan menggunakan keterampilan untuk menciptakan desain yang lebih etis, yang tidak hanya mengedepankan estetika tetapi juga kesadaran sosial dan keberlanjutan? Pertanyaan ini harus kita jawab dengan kritis dan jujur, karena setiap keputusan desain yang kita buat memiliki dampak nyata pada dunia di sekitar. Sebagai desainer, kita memiliki pilihan: apakah kita akan menjadi agen perubahan yang berani menantang status quo, atau sekadar menjadi alat yang memperkuat ketimpangan sosial dan kerusakan lingkungan yang ada? 


Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top