MAKNA SEMBAH CATUR DAN SEMBAH LELIMA DALAM TRADISI BUDAYA JAWA

Print Friendly and PDF

MAKNA SEMBAH CATUR DAN SEMBAH LELIMA DALAM TRADISI BUDAYA JAWA


Oleh: Prof. Dr. Bani Sudardi, M.Hum

Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret, Dewan Pakar Sekretariat Nasional Wayang Indonesia (SENAWANGI) Jakarta


Prof. Dr. Bani Sudardi, M.Hum


       Dalam sastra Jawa baru, khususnya pada masa kasunanan Surakarta terdapat dua mutiara sastrawan besar yang sangat besar pengaruhnya di dalam kehidupan budaya Jawa. Dua sastrawan besar tersebut adalah Mangkunegara IV dan Pakubuwana IV. Kedua sastrawan atau pujangga tersebut mengarang serat yang berjudul Wulangreh dan Wedhatama. Kedua serat tersebut masuk ke dalam golongan sastra ajar karena di samping di dalamnya  terdapat tembang-tembang, karya tersebut juga berisi sastra yang mengajarkan tentang etika dalam kehidupan ini. Mangkunegara IV  telah menulis sebuah surat berjudul Wedhatama yang merupakan sebuah karya yang ditujukan untuk mengajar kepada anak cucunya yang disebutkan dalam pembukaan sebagai "mingkar mingkuring ukara, akaranan karananing mardi siwi" yang artinya mengatur kata-kata sebagai sarana untuk mendidik anak. Mangkunegara IV mengajarkan tentang empat sembah yang merupakan satu bentuk perjalanan spiritual. Sembah tersebut adalah sembah raga, cipta, jiwa, dan rasa. Hal ini dinyatakan dalam pupuh gambuh sebagai berikut.

Samengko ingsun tutur,

sembah catur supaya lumuntur,

dingin raga, cipta, jiwa, rasa, kaki,

ing kono lamun tinemu,

tandha nugrahing Manon

(Saya akan mengajarkan tentang 4 sembah agar terpahami. Yang pertama adalah raga, lalu cipta, jiwa, dan rasa. Apabila di situ dapat menemukan Tuhan, maka sungguh itu anugerah Yang Maha Melihat (Tuhan).

       Suatu ajaran yang disampaikan oleh Pakubuwana IV dan Mangkunegara IV adalah ajaran tentang sembah. Mangkunegara IV mengajarkan tentang sembah catur atau 4 sembah yang merupakan suatu ajaran untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sementara itu, Pakubuana 4 juga mengajarkan 5 sembah yang sembah tersebut merupakan salah satu bentuk etika pergaulan manusia dalam rangka menyampaikan terima kasih kepada orang-orang telah berjasa dalam kehidupan kita. Kedua sembah tersebut dibahas dalam tulisan Ini agar kita semua mendapatkan pencerahan dari nilai-nilai yang terdapat dalam sembah catur dan sembah lelima. 

Yang dimaksud sembah papat atau sembah catur adalah suatu tataran sembah dalam tasawuf yang sering disebut sebagai syariat tarekat, hakikat dan makrifat. Jadi sembah catur tersebut merupakan satu cara manusia mendekati Tuhannya dengan jalan tasawuf yang sudah diadopsi oleh masyarakat Jawa menjadi sembah papat tersebut.

       Dasar dari sembah papat ini adalah ajaran Islam yang diantaranya disebutkan di dalam sembah papat itu dalam kutipan Wedhatama: “Kang wis lumrah limang wektu. Wantu wataking wewaton​.”  yang artinya yang sudah lazim adalah menjalankan salat lima waktu yang sudah merupakan ketetapan dari Allah subhanahu wa ta'ala

       Berbeda dengan sembah papat yang dikemukakan oleh Mangkunegara IV maka sembah 5 merupakan sembah yang merupakan satu etika di dalam tradisi budaya Jawa titik dalam tradisi budaya Jawa sembah ini diartikan sebagai satu penghormatan titik artinya menyembah kepada sesuatu ialah memberikan penghormatan

       Paku Buana 4 dalam menjelaskan sembahlah 5 ini sebagai penyembahan atau penghormatan kepada 5 manusia yang sangat berjasa dalam kehidupan kita. Dalam pupuh maskumambang disebutkan sebagai berikut.

7. ana uga etung-etungane kaki | lêlima sinêmbah | dununge sawiji-wiji | sêmbah lêlima punika ||

8. ingkang dhingin rama ibu kaping kalih | marang maratuwa | lanang wadon kang kaping tri | ya marang sadulur tuwa ||

9. kaping pate ya marang guru sayêkti | sêmbah kaping lima | ya marang gustinirèki | parincine kawruhana ||

       Adalah hitung-hitungan. Lima sembah, letaknya sendiri-sendiri. Sembah lima itu yang pertama kepada Bapak dan Ibu, kedua kepada mertua laki-laki dan perempuan, ketiga kepada Saudara tua, yang keempat kepada guru, sedangkan yang kelima kepada Tuanmu. Penjelasannya ketahuilah.

        Manusia tersebut yang pertama adalah orang tua atau bapak dan ibu titik orang tua sangat perlu dihormati karena kedua orang tua merupakan sarana yang ditentukan oleh Allah kita semua hadir di dunia. Orang tua ini yang dimaksud bukan saja orang tua biologis tetapi juga orang tua yang diperoleh lewat pernikahan atau yang disebut mertua. Mertua wajib dihormati karena menjadi sarana kita mendapatkan pasangan sehingga dapat mendapatkan keturunan.

       Nomor tiga yang patut dihormati adalah saudara tua. Saudara tua patut dihormati karena saudara tua merupakan orang yang akan menggantikan orang tua ketika orang tua sudah tiada atau meninggal dunia. Selanjutnya orang yang wajib dihormati adalah guru karena guru ini wajib dihormati karena guru merupakan sarana kita mendapatkan ilmu pengetahuan yang ilmu pengetahuan ini sangat berguna dalam menuntun kita mendapatkan kebenaran. 

      Yang kelima atau yang terakhir yang wajib disembah adalah raja atau penguasa. Raja atau penguasa sangat penting untuk dihormati karena raja atau penguasa ini menjadikan sarana kita mendapatkan penghasilan dan mendapatkan kedudukan yang layak yang dapat digunakan dalam rangka menegakkan kehidupan kita sehari-hari.

       Terdapat nilai-nilai moral yang sangat baik dalam ajaran Wulangreh ini. Tidak boleh sombong meskipun sudah kuat. Baik yang bangsawan atau orang biasa dalam mengabdi kepada raja kedudukannya sama.. Bila bersalah, hukumannya sama. Orang yang mengabdi harus tahu pekerjaan, selalu patuh, rajin, jangan malas.

       Dengan demikian sembah lima atau sembahlah lima ini merupakan bentuk ajaran dalam kebudayaan Jawa orang untuk memiliki etika atau memiliki rasa hormat kepada orang-orang yang sudah membentuk sejarah dalam kehidupan kita. Hal ini merupakan suatu ajaran yang sangat mulia yang perlu diajarkan juga kepada anak cucu kita.


Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top