WAYANG DAN IDEOLOGI NEGARA

Print Friendly and PDF

WAYANG DAN IDEOLOGI NEGARA


Oleh: Prof. Dr. Bani Sudardi

Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret, Dewan Pakar SENAWANGI Jakarta


Oleh: Prof. Dr. Bani Sudardi


       Menurut Hazeu, Cerita wayang di Indonesia sudahlah sangat lama. Wayang adalah gambaran tentang nenek moyang yang dimunculkan dalam sebuah teater boneka. Tampaknya pada masa lalu wayang adalah bagian dari ideologi negara. Pemerintahan raja raja tertentu biasanya mengangkat kisah-kisah sebagai pedoman dalam pemerintahannya. Pada saat itulah terjadi sangkit-sanggit dari para pujangga nusantara terhadap wayang yang digelutinya. Pada sisi yang lain, wayang juga dianggap sebagai suatu bentuk ritual keagamaan karena memang dalam ajaran Hindu cerita wayang, khususnya yang bersumber dari mahar barat dan Ramayana dianggap sebagai weda kelima yang mengajarkan tentang dharma dan karmapala, serta panitisan atau avatara (Sudardi, 2024).

       Kita dapat melacak lakon-lakon yang ada sepanjang masa di nusantara ini maka tampaklah suatu benang merah tentang kedudukan wayang yang dianggap sangat penting, khususnya di dalam tradisi kerajaan-kerajaan di Nusantara. Pada masa kerajaan Mataram Kuna, kakawin Ramayana mulai berkembang dan menjadi kawin resmi kerajaan. Kakawin ini digubah kira-kira masa raja Balitung. Rakai Pikatan sebagai penerus raja Balitung kemudian mendirikan suatu tempat ibadah kenegaraan yang disebut sebagai Siwagrh atau rumah Siwa. Tempat ini sekarang dikenal dengan nama candi Rara Jonggrang atau Candi Prambanan. Tampaknya ramayana adalah sebuah kisah yang diangkat sebagai kisah kenegaraan dan menjadi pedoman masyarakat pada waktu itu sehingga kisah ini secara kronologis dipahatkan di Candi tersebut. Meskipun rakai Pikatan adalah penganut Hindu Siwa, namun tampaknya dalam olah kenegaraan dia berpegang pada prinsip Wisnu yang memelihara dunia. Di Kompleks Candi Prambanan ini, ada dua cerita wayang yang kedua-duanya menceritakan tentang avatara Wisnu. Yang pertama adalah kisah Ramayana dan perjuangannya dalam menyelamatkan Dewi Sita dibantu oleh pasukan kera. Sementara yang kedua adalah kisah tentang Krisna yang diangkat dari cerita krisnayana. Demikianlah pada masa Mataram Kuna, cerita Ramayana dan kresnayana telah diangkat sebagai cerita kenegaraan yang dijadikan pedoman dalam mengelola pemerintahan (Susilo & Wulansari, 2019) .

       Wayang digunakan sebagai legitimasi negara pada zaman Airlangga (10281035) dengan membuat cerita sanggit baru yang berjudul Arjunawiwaha. Dikisahkan bahwa kedudukan Airlangga ketika pertama-tama raja di Medang, sangatlah menyedihkan. Ketika dia menjadi pengantin baru kerajaan mertuanya diserang oleh raja Wurawari sehingga airlangga harus melarikan diri ke hutan. Berkat bantuan para Brahmana, maka Airlangga berhasil merebut kembali kerajaan yang telah porak-poranda. Ia kemudian menata kembali kerajaan itu sampai akhirnya kerajaan tersebut dibagi menjadi Kediri dan Jenggala atas bantuan Mpu Bharada untuk menghindari perpecahan (Windya, 2020). 

      Hal yang sangat penting dalam kisah Arjuna Wiwaha adalah ketika Arjuna bertapa di tengah hutan kemudian didatangi oleh Dewa Siwa yang memberikan anugerah berupa panah Pasopati. Kedatangan Dewa Siwa tersebut ialah dalam rangka meminta bantuan Arjuna untuk mengalahkan musuh Dewata yang bernama Prabu Niwatakawaca. Gambaran cerita wayang tersebut yang diambil oleh Airlangga sebagai gambaran kehidupannya yang harus bertapa di dalam hutan untuk memulihkan kembali kekuasaannya yang sudah direbut musuh. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa pada masa pemerintahan Airlangga wayang Arjuna Wiwaha adalah sebuah cerita wayang yang dijadikan sebagai cerita resmi kenegaraan dan ditulis oleh mpu Kanwa yang merupakan pujangga resmi pada waktu itu. 

       Pemerintahan terkuat setelah pemerintahan Airlangga adalah pemerintahan Prabu Sri Jayabaya 1135-1159) yang memerintah di Kediri. Untuk menyatukan kerajaan-kerajaan di sekitarnya yang sebenarnya masih keturunan Airlangga, maka Jayabaya memerangi saudara-saudaranya itu dan menaklukkannya. Kisah itu kemudian di legitimasi dengan mengangkat cerita Mahabharata, khususnya Peperangan antara Pandawa dan Kurawa yang juga masih saudara itu. Penulisan Baratayuda tampaknya merupakan satu proyek besar dari Sri Jayabhaya. Pertama-tama perintahkan untuk menulis adalah Mpu Sedah. Namun karena ada kecurigaan atau intrik tertentu, mpu Sedah dihukum mati oleh Jayabaya sedangkan tugas untuk menyusun Bharatayuda tersebut dilanjutkan oleh mpu Panuluh . 

      Tampaknya pada masa Jayabhaya perang saudara dalam mahabharata sangat mengesan sehingga Jayabaya mengidentifikasikan diri sebagai Pandawa yang memerangi Kurawa. Hal ini terlihat dari pengambilan judul yang terus terang menyatakan perang keluarga Barata atau disebut Baratayuda. 

      Pada zaman Singasari tampaknya inspirasi negara yang diambil dari cerita wayang tidaklah mendominasi. Pada masa Ken Arok ditemukan sebuah kakawin yang berjudul Siwaratrikalpa atau dikenal dengan nama Kisah Lubdaka yang ditulis oleh Empu Tanakung. Kakawin ini menceritakan tentang seorang pemburu yang banyak dosa yang secara tidak sengaja memberi sesembahan kepada dewa Siwa sehingga pada akhir hayatnya diselamatkan oleh Dewa Siwa berkat persembahan daun Tanjung kepada sebuah Lingga. Ludaka menjatuhkan daun Tanjung itu sebenarnya bukan untuk persembahan kepada dewa Siwa, melainkan dalam rangka berusaha supaya tidak mengantuk ketika ia menyelamatkan diri suatu malam di dalam hutan. 

       Menurut kajian Porbatjaraka dalam bukunya Kepustakaan Jawi, kisah lubdaka tersebut sebenarnya merupakan suatu hiburan kepada Ken Arok yang aslinya banyak dosa dan melakukan beberapa pembunuhan. Namun berkat amalan-amalannya ken Arok dapat diselamatkan dari siksa para dewa, bahkan ia pun menjadi seorang dewa Raja dengan gelar Siwamahadewa (Poerbatjaraka, 1952).

       Pada masa kerajaan Majapahit, tampaknya kebesaran digambarkan juga dalam sebuah cerita wayang yang berjudul Arjuna Wijaya. Arjuna Wijaya Ini adalah sebuah cerita tentang seorang tokoh yang bernama Arjuna yang digambarkan memiliki tangan seribu sehingga sering disebut sebagai Arjunasastrabahu. Gambaran ini tidak lain adalah gambaran tentang kerajaan Majapahit yang memiliki kekuasaan yang luas. Untuk melegitimasi hal ini, maka raja terbesar Majapahit yang bernama Hayam Wuruk memerintahkan Mpu Tantular untuk mengarang sebuah kakawin yang berjudul kakawin Arjunawijaya. Aslinya, kakawin ini adalah adopsi dari Uttarakanda dari Ramayana (Zoetmulder & Hartoko, 1983). 

       Menurut dugaan kami, Arjunasasrabahu adalah gambaran Raja Majapahit, sementara itu sumantri adalah gambaran tentang patih Gajah Mada yang apapun kesaktiannya tidak dapat mengalahkan sang raja. 

       Pada masa Kesultanan Demak, wayang juga dijadikan sebagai sarana untuk legitimasi raja. Cerita wayang yang sangat terkenal ialah cerita tentang beralih Islamnya yudistira atau Puntadewa dari kepercayaan agama Hindu kepada agama Islam. Hal tersebut digambarkan dalam pertemuan dengan sunan Kalijaga yang berhasil menuntun pembacaan kitab Kalimasada sebagaimana digambarkan dalam Serta Centhini Jilid 2 pupuh pangkur. Demikianlah gambaran tentang wayang dan ideologi negara dari masa ke masa.


DAFTAR PUSTAKA

Poerbatjaraka, R. N. (1952). Kapustakan Djawi. Djambatan.

Sudardi, B. (2024). The Problem of Javanese Wayang in Javanese Culture . 4(2), 476–480.

Susilo, A., & Wulansari, R. (2019). Peran Raden Fatah Dalam Islamisasi di Kesultanan Demak Tahun 1478–1518. TAMADDUN: Jurnal Kebudayaan Dan Sastra Islam, 19(1), 70–83. https://doi.org/10.19109/tamaddun.v19i1.3401

Windya, I. M. (2020). Kakawin Arjuna Wiwaha: Kajian Teorlogi Hindu. Genta Hredaya, 58–67.

Zoetmulder, P. J., & Hartoko, D. (1983). Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Djambatan.



Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top