LATAR BELAKANG SEJARAH SERAT TRIPAMA

Print Friendly and PDF

LATAR BELAKANG SEJARAH SERAT TRIPAMA


Oleh: Bani Sudardi

Guru Besar, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret Surakarta


Bani Sudardi


      Kemunculan karya sastra pasti tidak lepas dari situasi dan kondisi masyarakat pemiliknya. Dapat dikatakan karya sastra adalah cermin dari kondisi suatu masyarakat. Karya sastra juga dapat merupakan salah satu bentuk interpretasi masyarakat pemiliknya terhadap situasi dan kondisi zamannya (Faruk, 2017). Dalam Serat kalatida, Rangga Warsita menyebutkan bahwa zaman yang dihadapi adalah zaman edan. Penyebutan zaman edan itu merupakan interpretasi dari Ranggawarsita bahwa keadaan yang dialaminya benar-benar dalam keadaan yang sulit yang disebut sebagai keadaan yang sudah edan atau gila. Kondisinya digambarkan sangat membingungkan, yaitu kalau ikut gila tetapi tidak tahan, namun kalau tidak ikut gila tidak mendapatkan bagian untuk kehidupannya. Untuk mengatasi hal tersebut, maka Rangga Warsito mengambil langkah mendekatkan diri kepada allah agar selalu mendapat petunjuknya dan selamat dari keadaan yang merisaukan hatinya tersebut . Kemunculan karya sastra pasti tidak lepas dari situasi dan kondisi masyarakat pemiliknya. Dapat dikatakan karya sastra adalah cermin dari kondisi suatu masyarakat. Karya sastra juga dapat merupakan salah satu bentuk interpretasi masyarakat pemiliknya terhadap situasi dan kondisi zamannya. Dalam Serat Kalatida, rangga Warsita menyebutkan bahwa zaman yang dihadapi adalah zaman edan. Sebutan itu merupakan interpretasi dari ranggawarsita bahwa keadaan yang dialaminya benar-benar tuh keadaan yang sulit yang disebut sebagai keadaan yang sudah edan atau gila. Kondisinya digambarkan sangat membingungkan, yaitu kalau ikut gila tetapi tidak tahan, namun kalau tidak ikut gila tidak mendapatkan bagian untuk kehidupannya. Untuk mengatasi hal tersebut, maka Ranggawarsita mengambil langkah mendekatkan diri kepada Allah agar selalu mendapat petunjuknya dan selamat dari keadaan yang merisaukan hatinya tersebut.

       Dalam sastra Jawa baru kita menemukan sebuah karya sastra yang merupakan interpretasi pujangga tentang keprajuritan. Karya tersebut berjudul Serat Tripama yang hanya terdiri dari 7 bait dalam metrum tembang Dhandhanggula. Karya tersebut merupakan sebuah karya dari Mangkunegara 4.  Serat ini merupakan sebuah serat yang berisi ajaran yang diambil dari tokoh-tokoh di dalam dunia pewayangan, khususnya yang bersumber dari Ramayana dan Mahabharata. Tiga tokoh tersebut adalah Sumantri dan Kumbakarna yang berasal dari Ramayana serta Adipati Karna yang berasal dari cerita Mahabharata. Pemilihan ketiga tokoh tersebut sebenarnya sangat kontradiktif. Ketiga tokoh tersebut memiliki kekurangan, bahkan ada yang berpihak kepada angkara murka. Namun demikian, menurut interpretasi penulisnya, tokoh-tokoh tersebut memiliki nilai keteladanan yang dapat ditiru. Serat Tripama sendiri bermakna tentang 3 teladan yang diambil dari tokoh pewayangan, yaitu Patih Suwanda (Sumantri), Kumbakarna, dan Adipati Karna (Basukarna).

Hal tersebut diungkapkan dalam bagian pembuka serat tersebut.

. yogyanira kang para prajurit | lamun bisa sami anulada | kadya nguni caritane | andêlira Sang Prabu | Sasrabau ing Maèspati | aran Patih Suwănda | lêlabuhanipun | kang ginêlung tri prakara | guna kaya puruning kang dèn antêpi | nuhoni trah utama

(Terjemahan: Sebaiknya para perajurit dapat mencontoh cerita orang kepercayaan Prabu Sasrabahu dari Maespati yang bernama Patih Suwanda. Perjuangannya terdri dari 3 perkara, yaitu guna, kaya, dan purun yang diniati sebagai bentuk mematuhi golongan orang yang utama.

      Kiranya 3 prinsip Patih Suwanda itu menjadi prinsip pokok ajaran dalam serat ini.  Serat tersebut menjelaskan tentang ketiga prinsip tersebut.

guna bisa saniskarèng karya | binudi dadi unggule  (dapat melakukan semua pekerjaan dan berusaha untuk dapat tercapai)

kaya sayêktinipun | duk bantu prang Manggada nagri | amboyong putri dhomas | katur ratunipun | (dapat menyerahkan sesuatu yang diperlukan raja, yang waktu itu raja memerlukan putri dhomas dan hal itu dapat dicapai dengan cara menaklukan musuh-musuh negara Magadha, lalu mengumpulkan putri Dhomas sebagai selir rajanya)

purune sampun têtela | aprang tandhing lan ditya Ngalêngka aji | Suwănda mati ngrana || (purun dalam pengertian berani mati membela rajanya.Dalam cerita disebutkan Patih Suwanda tewas dalam perang tanding dengan Dasamuka. Ia gugur dalam rangka menjaga rajanya dari serangan musuh.

       Konsep purun atau berani mati ini merupakan konsep yang sangat ditekankan sepanjang teks. Baik Kumbakarna maupun Basukarna adalah tokoh-tokoh yang berani mati yang ditunjukan dengan gugurnya mereka di medan laga. Konsep berani mati ini memang merupakan konsep yang menjiwai Mangkunegara.

       Dalam sejarahnya, Mangkunegara, Mangkunegara 1 terkenal dengan julukan Pangeran Sambernyawa karena kemahiran berperangnya, mereka memiliki semboyan tiji tibeh (mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh), yakni solidaritas bahwa mereka harus sengsara bersama-sama atau mulia bersama-sama.  Pasukan  Mangkunegara ini kemudian dikenal sebagai Legiun Mangkunegaran yang memiliki peran dalam beberapa peperangan yang terjadi pada masa Kasunanan Surakarta (Pratiwi, Anita Dian Joebagyo, Hermanu Yunianto, 2019). 

       Pura Mangkenagaran adalah pura yang didirikan dengan perjuangan sejak dari awal. Pertama, Mangkunegara mula-mula melawan VOC dengan bergabung dengan pasukan China. Setelah itu, ia bergabung dengan Sunan Kuning bergerilya di Nglaroh (Wonogiri saat ini), ketika Pangeran Mangkubumi memberontak, Mangkunegara juga bergabung dengannya. Namun, ketika Pangeran Mangkubumi mengadakan berpanjian Giyanti dan mendirikan Kesultanan Yogyakarta, Mangkunegara berjuang sendiri sampai akhirnya ia menyerah di Grogol sebagai bentuk strategi politik dan dianugerahi kekuasaan serta mendirikan Pura Mangkungara (Wasino, 2015).

Pasukan Mangkunegaran yang terkenal dengan sebutan Legiun Mangkungera beberapa kali terlibat peperangan dalam membantu kolonial. Menurut Wikipedia, Legiun Mangkunegaran yang berada di bawah kendali  Mangkunegara 2 pernah terlibat dalam Perang Srondol untuk membantu pasukan gabungan Kekaisaran Prancis Pertama - Belanda melawan Perusahaan Hindia Timur Britania Raya yang menguasai Nusantara. Legiun itu juga membantu penyerangan Inggris ke Yogyakarta tahun 1812. Selanjutnya, pada  Perang Jawa Legiun Mangkunegaran membantu Kesultanan Yogyakarta dan VOC melawan pasukan Diponegoro (1825 - 1830). Hal inilah yang menjadikan Mangkunegaran mengambil teladan Basukarna yang membantu pihak kolonial. Untuk itu, Mangkunegaran memang mendapatkan wilayah-wilayah baru Seperti Keduwang, Sukawati, dan sebagainya. 

       Mangkunegaran juga mengidolakan Kumbakarna karena dalam cerita Kumbakarna ini ada kemiripan dengan cerita perjuangan Mangkunegara 1. Kumbakarna melawan Sri Rama dalam rangka membela negaranya saja, bukan maksud membela Rahwana yang jahat. Mangkunegara 1 tidak sepaham dengan Kasunanan Surakarta karena Kasunanan dekat dengan pihak Belanda Sementara itu, Mangkunegara 1 kedudukannya dirugikan oleh kebijakan Kasunanan dan Belanda pada waktu itu telah membuang ayahnya dan yang hanya memberi pangkat rendah kepadanya. Karena itu, Mangkunegara 1 kemudian melakukan perlawanan terhadap Belanda dan kasunanan Hal ini mirip dengan yang dilakukan oleh Kumbakarna yang melakukan perlawanan terhadap Sri Rama namun pada hakekatnya perlawanan itu tidak dalam rangka membantu Dasamuka, melainkan dalam rangka membela negara dan kepentingannya (Hendro, 2017).

       Dalam memahami Serat Tripama karya Mangkunegara 4 tersebut tampaknya harus dihubungkan dengan sejarah perjuangan Mangkunegaran. Konsep-konsep merupakan suatu konsep-konsep yang diwarisi dari  Mangkunegara pendahulunya. Konsep tersebut berkaitan dengan sejarah yang terjadi pada masa lalu sehingga pemahaman memang tidak dapat lepas dari hal-hal di dalam pura Mangkunegaran. Mangkunegaran adalah sebuah pura yang muncul berkat sebuah perjuangan dalam interaksinya dengan kasunanan Surakarta, kesultanan Yogyakarta, dan VOC Belanda, serta kolonial Inggris yang datang ke Jawa pada waktu itu.


DAFTAR PUSTAKA

Faruk. (2017). Pengantar Sosiologi Sastra. Pustaka Pelajar.

Hendro, E. P. (2017). Strategi Kebudayaan Perjuangan Pahlawan Nasional Pangeran Sambernyowo. Endogame: Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi, 1(1), 42–54. https://ejournal.undip.ac.id/index.php/endogami/article/view/16837/0

Pratiwi, Anita Dian Joebagyo, Hermanu Yunianto, T. (2019). LEGIUN MANGKUNEGARAN TAHUN 1916 ± 1942 DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH1 Oleh. FKIP UNS (Skripsi).

Wasino. (2015). Modernisasi budaya politik mangkunegaran 1. Sejarah Dan Budaya, 9(2), 257–263.



Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top