MENCARI GURU SEJATI DALAM JAGAD PEWAYANGAN JAWA

Print Friendly and PDF

MENCARI GURU SEJATI DALAM JAGAD PEWAYANGAN JAWA

Oleh: Bani Sudardi

Guru Besar Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret dan Anggota Dewan Pakar Senawangi, Jakarta


Bani Sudardi


       Dalam kebudayaan Jawa masalah guru, ngelmu,  dan berguru merupakan sesuatu yang dianggap sangat penting. Yang dimaksud guru adalah tokoh yang mampu mengantarkan manusia berdekat-dekat yang Maha Esa, dengan kata lain guru adalah tokoh yang mampu menuntun seseorang untuk memahami asal usul dumadi, termasuk diantaranya asal usul dari ego itu sendiri. Adalah pengetahuan yang mencerahkan yang menjadikan manusia mendapatkan ketenangan batiniah karena sudah mengakui hakikat diri dan Tuhannya, hakikat alam semesta, hakikat nasib, hakikat hidup, hakikat mati, dan sebagainya. Sementara itu berguru adalah suatu cara untuk mendapatkan pengetahuan tersebut. Hal ini menjadi kesadaran orang Jawa bahwa "ngelmu kelakone kanthi laku". 

       Dalam mencari ilmu, orang Jawa memiliki kriteria tersendiri tentang guru yang akan menjadi Jalan daripada perolehan ilmu tersebut. Jadi, memang tidak sembarangan dalam mendapatkan guru karena batal salah satu saja menjadikan batal juga kedudukannya sebagai guru. Syarat-syarat dituangkan dalam sebuah tembang Dhandhanggula dalam Wulangreh sebagai berikut.

Nanging yen sira ngguguru kaki,

Amiliha manungsa kang nyata,

Ingkang becik martabate.

Sarta kang wruh ing kukum.

Kang ngibadah lan kang ngirangi.

Sukur oleh wong tapa,

ingkang wus amungkul.

Tan mikir pawewehing liyan,

 iku pantes sira guronana kaki,

sartane kawruhana.

(Kalau kamu berguru, maka pilihlah (1) manusia sejati yang baik martabatnya, (2) yang mengerti hukum , (3) yang menjalankan ibadah dan suka prihatin, (4) yang menjalankan tapa yang sudah tidak tertarik keduniaan. (5) yang tidak memikir balas jasa. Orang seperti itu pantas kamu jadikan guru, menjadi penyerta ilmumu.

       Masalah guru sejati tersebut dapat dilacak dalam cerita-cerita wayang yang merupakan sumber falsafah kehidupan manusia Jawa. Yang menarik adalah kehidupan para Pandawa. Yang istimewa adalah Yudistira. Guru sejati Yudistira, dalam kebudayaan Jawa adalah sunan Kalijaga. Padahal ketika Yudistira lahir, sunan Kalijaga belum menjadi apa-apa. Masa hidup keduanya adalah sangat jauh. Yudistira hidup pada masa wayang sementara Sunan Kalijaga hidup pada masa wali. Namun demikian yang istimewa dari Yudistira yang mengantarkannya dia mendapatkan ilmu sejati adalah bahwa dia memiliki perilaku yang luar biasa. Perilaku itu ialah dia menjadi orang yang tidak pernah berbohong. Keadaan inilah yang menjadikan Yudistira sebagai Satria berdarah putih karena bersih dan kejujurannya. Di samping itu Yudistira juga memiliki pusaka kitab Jamus Kalimasada. Kitab ini dapat diartikan sebagai jimat kalimat syahadat, namun juga dapat diartikan sebagai sada atau lidi 5 yang terikat kuat. Lidi 5 yang terikat kuat ini tidak lain dari 4 hawa nafsu (sufiah, aluamah, amarah, dan Mutmainnah) serta ego yang menyatu dalam dirinya terkendali dengan baik. Dalam kepercayaan Jawa, Yudistira sebagai tokoh yang mati paling akhir setelah dibacanya Kitab Jamus Kalimasada. Cerita ini pernah dilakonkan oleh Ki Seno Nugraha dalam cerita “Kalimat Thoyibah  Jamus Kalimasada”. Dalam cerita itu Ki Seno, pembacaan Kalimat Sahadat tersebut dilakukan di Masjid Demak. Setelah dituntun membaca Kalimat Sahadat, Puntadewa atau Yudhistira meninggal dengan tenang sambil tersenyum.

       Dalam dunia pewayangan, tokoh Drona adalah guru para Pandawa. Namun, Drona bukanlah Guru sejati Pandawa. Kenapa? Drona tidak memenuhi syarat sebagai guru. Drona hanya mengajarkan keterampilan memanah dan tujuan Drona mengajari ilmu senjata karena Drona memiliki tujuan duniawi. Drona mengajari Pandawa karena beberapa alasan:

1. Ingin mendapatkan jabatan guru di Astina pura.

2. Ingin balas dendam kepada raja Drupada yang sudah menghinanya.

3. Ingin membantu anaknya yang bernama Aswatama mendapatkan kedudukan di Hastinapura.

       Pernah seorang sahabat saya bertanya, pendeta Durna itu oleh Bima dianggap sebagai guru yang mengantarkan Bima memperoleh pencerahan hidup, tetapi kenapa pendeta Durna dianggap bukan sebenarnya guru. Lalu siapakah guru sejati Bima.   

      Dalam dunia pewayangan Jawa, kisah berguru, mencari guru sejati dan ngelmu sejati terdapat dalam cerita Nawa Ruci. Dalam rangka menghancurkan Pandawa, yang mana tokoh yang paling kuat dan Sakti adalah Bima, maka Kurawa mencari cara dengan menipu Bima. Yang diajukan adalah tokoh guru Drona karena guru Drona merupakan guru para Pandawa dan Kurawa. Drona menyuruh Bima untuk mencari air amerta, atau yang menyebut banyu perwita sari. 

       Cerita tentang Bima mencari air suci sebenarnya merupakan bagian dari satu konteks penceritaan Jawa abad pertengahan, yaitu munculnya konsep ruwatan. Kidung Nawaruci dan Kidung Sudamala merupakan kidung dari masa akhir Majapahit yang menyajikan cerita tentang peruwatan, yaitu satu konsep baru dalam kebudayaan Jawa yang menyimpang konsep dari masa Hindu, yaitu konsep Karma. Dalam cerita Dewa Ruci, perwatan dilakukan terhadap raksasa Rukmuka dan Rukmakala yang merupakan jelmaan dari batara Indra dan Batara Bayu, selanjutnya perbuatan juga dilakukan terhadap ular Nemburnawa. Ular ini simbol dari 9 hawa nafsu manusia (babahan nawa sanga). Setelah Nemburnawa lenyap, maka dalam suasana bersih Bima dapat bertemu dengan hakikat dirinya yang disebut sebagai Dewa Ruci. Dari Dewa Ruci inilah Bima mendapatkan pelajaran tentang asal-usuling dumadi dan hakikat kediriannya. Dalam Serat Dewa ruci hal itu dinyatakan sebagai berikut.

marbudyèng rat Dewaruci angling | iya iku sajatining tunggal | saliring warna têgêse | iya ana sirèku | kabèh iki isining bumi | ginambar angganira | lawan jagad agung | jagad cilik nora beda | purwa ana lor kidul kulon puniki | wetan luhur myang ngandhap. 

       Yang mulia Dewa Ruci berkata, itulah sejatinya tunggal, perbedaan warna-warna semua dalam dirimu. Semua itu adalah isinya bumi, tergambar dalam dirimu dan jagat besar dan jagat kecil tidaklah berbeda, yaitu adanya timur, barat, utara, selatan, atas dan bawah.

       Yang menarik dalam pewayangan Jawa, bahwa Krisna tidaklah dianggap sebagai guru sejati. Krisna yang dekat dengan Arjuna hanya dianggap sebagai ahli strategi dalam menuju kemenangan Pandawa atas Kurawa. Padahal, dalam literatur India hubungan Krisna dan Arjuna ini sangat Intens dan menyangkut hal-hal kerohanian sebagaimana tertuang dalam Bhagawadgita. Kemungkinan, orang Jawa tidak begitu tertarik dengan filosofi India yang terdapat dalam Baghawatgita tersebut.


1 komentar:


Top