Belajar Menjadi Teladan bagi Diri Sendiri Berbasis Multikonteks Pragmatik

Print Friendly and PDF

Belajar Menjadi Teladan bagi Diri Sendiri Berbasis Multikonteks Pragmatik


Oleh: Prof. Dr. Muhammad Rohmadi, S.S., M.Hum.

Dosen PBSI FKIP UNS, & Penggiat Literasi Arfuzh Ratulisa

Email: rohmadi_dbe@yahoo.com/Youtube/Tiktok: M. Rohmadi Ratulisa


Prof. Dr. Muhammad Rohmadi, S.S., M.Hum.


"Kawan, kenali diri-sendiri akan memantik semangat untuk mengenali orang lain dengan lebih bijak dalam segala konteks sehingga kedamaian akan menjadi pilar kebhinekaan untuk saling mengerti dan memahami dalam multikonteks kehidupan "


       Baru-baru ini, seluruh masyarakat Indonesia menyaksikan perbuatan perundungan anak SMA yang menggunakan ujaran dengan kata, frasa, klausa, dan kalimat yang kurang baik dan kurang santun. Selain itu juga disertai dengan gerak tangan, tubuh, dan sikap arogan, yang dilakukan oleh salah satu oknum pengusaha dan teman-temannya di Kota Surabaya melalui media online yang meminta anak SMA untuk  "Jongkok dan menggonggong". Perbuatan tersebut benar-benar tidak  layak jadi contoh dan teladan bagi masyarakat Indonesia yang memiliki sikap tutur, perilaku, dan budaya ketimuran yang tinggi. Perilaku seperti itu tidak dibenarkan dan tidak boleh dibiarkan saja di wilayah NKRI agar tidak merasa “tidak ada yang berani mengingatkan” atas perbuatannya. Coba saja kalau dibalik, apabila oknum pengusaha tersebut yang disuruh " Jongkok dan menggonggong" seraya dimaki-maki di depan publik pasti tidak mau dan merasa tersakiti juga. 

       Seluruh masyarakat Indonesia yg melihat tayangan tersebut pasti, ngelus dada, "Kok bisa, kok tega, kok tidak sadar kalau itu sikap arogan  dan perundungan yang memuakkan bagi seluruh masyarakat NKRI. Selain kasus itu, masih banyak kasus-kasus perundungan yang terjadi pada anak-anak usia sekolah dasar, menengah, dan perguruan tinggi yang terpublikasi pada media-media online sepanjang waktu. Ini harus menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi seluruh masyarakat Indonesia agar bertindak, bersikap, berkata  dengan tindak tutur yang baik dan santun bagi sesama masyarakat di wilayah NKRI. Demikian juga menjadi tugas para pemangku kepentingan untuk dapat menindaknya sesuai aturan hukum yang berlaku. Bagi pemangku kepentingan pada dunia Pendidikan juga harus diambil langkah-langkah mitigasi yang tepat dan strategis dalam bentuk kebijakan, baik secara langsung maupun bertahap implementasinya.

       Pragmatik merupakan interdisipliner linguistik fungsional yang memahami maksud ujaran tersirat seorang penutur dengan melibatkan multikonteks kehidupan. Aneka konteks yang dimiliki seorang penutur dan lawan tutur sangat beragam sebagai pengetahuan dan pengalaman bersama antara penutur dan lawan tutur. Konteks budaya, seni, bahasa, agama, hukum, pemerintah, pendidikan, dan konteks kesemestaan kehidupan dapat menjadi fitur-fitur linguistik fungsional yang mendukung pemahaman implikatur yang disampaikan oleh penutur dan pranggapan yang dimiliki oleh lawan tutur.

       Hal inilah yang harus diperhatikan oleh setiap manusia dan masyarakat di NKRI bahwa kita harus selalu belajar menjadi teladan untuk diri sendiri sehingga akan menjadi contoh dan teladan bagi masyarakat sekitar. Apabila kesadaran diri dibangun dengan sistem keyakinan yang kuat  bahwa setiap tutur kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacana yang diucapkan harus dikembalikan pada dirinya masing-masing. Apakah tindak tutur tersebut akan menyakiti, menyinggung perasaan, dan menimbulkan rasa dendam, kebencian, kejengkelan, dan sikap-sikap kurang baik pada dirinya. Apabila iya, berarti tidak boleh diucapkan kepada lawan tuturnya. Bertindak, bersikap, bertutur, dan berliterasi dengan Ratulisa (rajin menulis dan membaca) dengan baik maka akan dapat menjadi titik temu kebaikan dan model keteladanan bagi diri sendiri yang akan diikuti oleh setiap partisipan yang melihat dan mendengarnya. Pragmatik akan sangat bermanfaat apabila dipahami konsepnya dna diimplementasikan dalam percakapan formal dan nonformal, secara langsung dan tidak langsung oleh seluruh Masyarakat NKRI. Dengan memahami multikonteks pragmatik berarti seorang penutur akan mengedepankan sikap untuk dapat menjaga muka atau perasaan dan dapat memanusiakan manusia dalam segala konteks kehidupan.

       Belajar menjadi teladan bagi diri-sendiri harus dimulai dari sekarang dengan semangat keteladanan. Sikap keteladanan ini akan  dapat menjadi virus-virus positif bagi seluruh masyarakat di sekitar kita. Sikap bertutur yang baik, santun, sabar, dan ikhlas tentu akan berdampak pada konteks kesemestaan yang baik, damai, sejuk, dan sejahtera. Sebagai contoh tutur kata yang baik, santun, ikhlas, sabar, itu seperti Presiden ke-7 RI, yakni Bapak Joko Widodo atau silahkan Saudara-Saudaraku dapat memilih teladan terbaik di sekitarnya yang dapat dirujuk dijadikan contoh dan teladan sepanjang hayat dalam bertutur, bersikap, bertindak, dan berbuat kemaslahatan untuk Masyarakat. Masing-masing dapat memilih dan memilah teladan dan contoh yang dapat dijadikan rujukannya dalam kehidupan. Keikhlasan dan kesabaran itu bukan sekadar diucapkan atau dikatakan tetapi harus diwujudkan dalam bentuk tindakan, sikap, dan perbuatan sehari-hari. Inilah wujud implementasi bahasa lisan dan tulis dalam konteks pragmatik sebagai dasar untuk membentuk karakter multigenerasi NKRI. 

       Konteks pragmatik akan melekat pada tindak tutur seorang penutur yang mengandung implikatur dan praanggapan bagi lawan tuturnya. Apabila setiap manusia yang hidup di muka bumi ini saling berebut salah, berebut minta maaf,  dan berebut berbagi kebaikan sebagai amal jariyah untuk kemaslahatan umat maka keteladanan berbahasa lisan, tulis, akan dapat menjadi model berkomunikasi dan berliterasi dengan Ratulisa yang baik dan santun dalam multikonteks kehidupan.  Pragmatik memiliki pilar-pilar keteladanan yang dapat menjadi sumber literasi Ratulisa dan pembelajaran pragmatik secar bertahap dan  berkelanjutan. 

      Pilar-pilar pragmatik tersebut antara lain: tindak tutur, penutur & lawan tutur, teks, koteks, & konteks, implikatur & praanggapan, prinsip kerja sama, prinsip kesantunan, deiksis, dan pembelajaran pragmatik berbasis multikonteks kehidupan. Hidup sekali mati sekali maka kita harus berusaha mulai sekarang untuk belajar dan membelajarkan diri untuk menjadi teladan dan contoh bagi diri sendiri agar dapat menjadi teladan dan contoh bagi orang lain secara bertahap. Belajar menjadi teladan dimulai dari yang paling dasar, antara lain: menyapa setiap berjumpa dengan orang lain, tersenyum dan saling tegur sapa, membiasakan minta maaf, berterima kasih, dan minta tolong, dan berebut salah dan minta maaf. Dengan demikian terwujudlah sikap saling menjaga, menghargai, menghormati, empati, dan gotong royong sebagai implementasi lima sila Pancasila untuk seluruh Masyarakat NKRI.

“Bunga mawar bunga melati. Mari kita belajar dan membelajarkan diri untuk terus memotivasi dna menginspirasi multigenerasi NKRI”

Kupang, 15 November 2024


Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top