HENTIKAN PERUNDUNGAN DENGAN BELAJAR PRAGMATIK

Print Friendly and PDF

HENTIKAN PERUNDUNGAN DENGAN BELAJAR PRAGMATIK  


Oleh: Prof. Dr. Muhammad Rohmadi,S.S. M.Hum.

Dosen PBSI FKIP UNS, & Penggiat Literasi Arfuzh Ratulisa

Email: rohmadi_dbe@yahoo.com/Youtube/Tiktok: M. Rohmadi Ratulisa


Prof. Dr. Muhammad Rohmadi,S.S. M.Hum.


"Kawan, bersinergi untuk bergerak dan menggerakkan multigenerasi NKRI untuk terus menjadi teladan dalam berliterasi dengan Ratulisa (rajin menulis & membaca) merupakan tindakan yang sangat mulia dunia akhirat"


       Perundungan berasal dari kata “rundung” yang memiliki makna proses, cara, perbuatan merundung (KBBI VI Daring). Merujuk pada makna perundungan tersebut, kegiatan perundungan ini sering dialami anak-anak sejak TK, SD, SMP, MTs, SMA, MA, perguruan tinggi, dan juga terjadi pada kehidupan bermasyarakat. Perundungan dapat terjadi pada siapa saja dalam multikonteks kehidupan, baik dalam bentuk tindak tutur yang merujuk pada nama, kondisi tubuh/fisik, ucapan, wajah, kondisi keluarga, kondisi keluarga, kondisi saudara, profesi, dan kondisi-kondisi lainnya. Perundungan ini dapat menimpa siapa saja dan terjadi kapan saja khususnya pada anak-anak atau individu yang berada posisi lemah atau tidak percaya diri, sebagai contoh kasus perundungan dan makian yang menimpa salah satu penjual es the di Magelang oleh salah seorang oknum ustad sekaligus pejabat publik yang seharusnya menjadi teladan bagi umat tetapi justru sebaliknya, akhirnya menjadi viral di media sosial. Oleh karena itu, perundungan harus dihentikan dan tidak boleh dibiarkan karena dapat berdampak psikologis yang sangat fatal, baik pada anak-anak usia sekolah, remaja, peserta didik, mahasiswa, dan masyarakat dalam multikonteks kehidupan.

       Mengapa harus dengan belajar pragmatik untuk mengentikan perundungan? Belajar pragmatik merupakan salah satu alternatif untuk ikut serta berupaya menghentikan perundungan. Dengan belajar pragmatik, manusia akan belajar untuk memanusiakan manusia dalam multikonteks kehidupan. Belajar pragmatik berarti belajar untuk merasakan, memahami, mengerti, tuturan yang disampikan oleh penutur dan lawan tuturnya. Oleh karena itu, dengan belajar pragmatik seluruh masyarakat NKRI akan dapat menerapkan apa yang dilihat, didengar, dirasakan, dan dialami orang lain pada dirinya. Dengan ikut memahami dan merasakan apa yang dirasakan orang lain itu akan terasa sakit dan menyedihkan apabila terjadi pada dirinya maka akan memantik individu tersebut untuk tidak melakukannya. Dengan belajar pragmatik tentu akan membuat manusia lebih bijak, santun, dan memiliki pilihan diksi yang benar, baik, dan santun saat berkomunikasi dengan lawan tuturnya. Pemahaman pragmatik sebagai cabang ilmu linguistik ini belum semua masyarakat mengerti dan memahaminya. Dengan demikian, diperlukan upaya untuk menyosialisasikan dan membelajarkan pragmatik kepada seluruh peserta didik dna masyarakat di 38 provinsi secara bertahap dan berkelanjutan agar menjadi manusia yang santun dan benar dalam berkomunikasi.

       Perundungan itu merupakan perbuatan yang tidak baik, dan akan sangat menyakiti orang lain. Perundungan dapat memantik untuk saling dendam, benci, iri, dengki, dan memancing keributan serta kerusuhan yang dapat merusak kebhinekaan dan persatuan Indonesia. Oleh karena itu, semua pihak, baik pemerintah, swasta, dan seluruh masyarakat NKRI harus bersinergi untuk menghentikan kegiatan perundungan. Hal ini harus dimulai dari diri sendiri untuk menjadi teladan dan contoh dengan memiliki komitmen “Hentikan perundungan dalam bentuk apa pun, di mana pun, dan kapan pun!” Kemudian komitmen ini bukan sekadar slogan dan poster tetapi harus dilakukan dan dijadikan teladan dalam bentuk konsep dan tindakan yang dapat diikuti oleh seluruh masyarakat NKRI. Mari kita bergerak dan menggerakan gerakan hentikan perundungan untuk seluruh masyarakat NKRI mulai sekarang. Gerakan ini harus dimulai sekarang bukan besok, mulai dari diri sendiri bukan orang lain, dan terus bergotong-royong untuk mewujudkannya.

       Belajar pragmatik sebagai cabang ilmu linguistik fungsional yang memahami maksud dan tujuan yang ada dibalik tuturan dengan melibatkan konteks tuturan harus terus dilakukan. Proses pembelajaran pragmatik sebenarnya sudah dilakukan sejak anak-anak pada ranah keluarga yang dimulai dengan contoh dan teladan pada ayah, ibu, dan saudara-saudaranya. Kemudian didukung dengan Gerakan Literasi Arfuzh Ratulisa (GELAR) yang dapat dilakukan dengan berbagai sumber literasi Ratulisa, baik cetak dan digital. Upaya untuk menyosialisasikan sumber literasi perpusnas.go,id, https://www.kemdikbud.go.id/, gln.kemdikbud.go.id, pusatbahasa.go.id, arfuzhratulisa.id, library.uns.ac.id dan masih banyak lagi sumber literasi digital yang dapat dijadikan sebagai sumber rujukan untuk belajar pragmatik dan multikonteks kehidupan. Dengan demikian, belajar pragmatik dapat menjadi salah satu mitigasi untuk menghentikan perundungan. Apabila belum dapat terhenti secara menyeluruh di wilayah NKRI, minimal sudah ada upaya bertahap dan berkelanjutan untuk dapat ikut berpartisipasi menghentikan perundungan di 38 provinsi di NKRI. Selamat menjadi teladan dan contoh untuk ikut serta berpartisipasi menghentikan perundungan yang dimulai dari diri sendiri.


“Bergerak dengan tindakan sebagai contoh dan teladan berarti telah ikut serta menjadi pelita dalam kegelapan yang dapat menerangi dan menemani menuju titik pasti yang diimpikan dan diimajinasikan sepanjang hayat”


PBL FKIP UNILA Lampung, 11 Desember 2024


Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top